Lama lagi nulis lagi
nih. Postterakhir kalo gak salah pasca UNya.. wow, berarti itu tepat 6 bulan
yang lalu karena IP
gue sudah keluar. Hahaa
Welcome back para
blogger, kali ini gue akan bahas mengenai perbedaan antara generasi Batak asli
lahir disana (bener-bener lahir dan besar) dengan generasi Batak yang lahir
serta besar di perantauan. Memang kedengannya SARA sih, tapi post ini gak bakal
SARA kalo kalian menanggapinya dengan cara yang positif. Satu lagi, postingan ini berdasarkan
pengalaman yang ada disekitar gue. Sebelumnya izinkan gue memperkenalkan diri.
Nama gue Siska Lestari Simanjuntak, Orangtua asli orang Batak dan mama boru
Napitupulu. Gue lahir dikota Tangerang dan besar di kota yang bernama Boyolali
(Jawa Tengah) selama hampir 18 tahun. Lets check it, berikut merupakan
perbedaannya.
1. Logat
bicara yang khas
Jujur
aja, ketika gue ngampus pertama kali yaitu tanggal 1 September 2014 hal pertama
yang bikin gue penasaran yaitu pengen banget lihat daftar absen dan sedikit
kepo tentang “hmm, orang bataknya ada gak ya?” :D dan gue menemukan apa yang
gue cari. Menurut gue itu merupakan hal yang wajar karena selama gue menempuh
pendidikan SMP-SMA gue gak pernah punya temen sekelas orang batak, karna kami
menyebar di setiap sekolah yang berbeda. Alhasil gue punya banyak temen yang
mereka sebut “halak ion” atau mereka yang bukan berasal dari suku batak. Waktu
ospek nih, gue sedikit bercengkrama dengan anak-anak medan batak asli dan mencoba
menerka apa yang mereka bicarakan dengan perlahan. Ini yang gue sebut adaptasi.
Ketika mereka berbicara tidak jarang terselip kata “bah, kau, kelen, aigoo,
lae, -lah, -kali, etahe dsb”. Sedangkan kalo gue tinjau dari anak-anak yang
besar diperantauan termasuk gue sendiri kata-kata itu merupakan kata yang
terbilang lazim kami dengar tetapi jarang kami gunakan dalam berbahasa
sehari-hari.
2. Intonasi
serta gaya bahasa
Nah,
orang batak asli akan berbicara dengan sangat cepat dan dengan suara yang keras
sehingga terkadang gue sendiri (pada awalnya) bener-bener butuh konsentrasi
tingkat tinggi dalam didalam mendengarkan, sedangkan anak batak perantauan mayoritas
diantara mereka sudah banyak beradaptasi dengan sekitarnya sehingga cara mereka
berbicara pun sudah sama dengan yang namanya “halak ion”. Ah, sedikit curcol
nih, tepat di bulan Desember kemarin gue datang ke acara Natal Keluarga Besar
Batak Boyolali dan Sekitarnya (KBBS). Disana gue bener-bener disadarkan bahwa ini
Natal orang batak tetapi kenapa “naposonya” atau (kaum remaja dan dewasa yang
belum menikah) justru ngomongnya pake bahasa Jawa?? *miriss
Padahal
selama gue ngampus aja gue berusaha untuk menerapkan bahasa batak yang gue tahu
walaupun pernah ada ito marga (lupa) bilang kalo logat batak gue itu
“marpasir-pasir” (janggal). Hahaha. Tapi gue tetep berusaha buat berbahasa
batak ketika komunikasi dengan mereka semua. Namun, gue sendiri aja justru
canggung buat ngomong batak sama temen-temen gue sesama anak rantau. Sempat
seorang senior bilang, “dek, asalmu katanya Boyolali, kok kental kali Batakmu
itu?” dan aku cuma bisa tersenyum *banggaaa
3. Sifat
Kalo
ditinjau berdasar sifat hampir semua orang batak yang gue kenal dan gue tahu
memiliki sifat berani, suka menolong, suka tantangan, keras kepala, susah
diatur, emosian, gak mau kalah apabila ia melakukan hal yang benar,
mendominasi, dsb. Gak dipungkiri itu semua memang menurun ke anak-anak mereka
baik yang di asli sana maupun anak perantauan. Cuma bedanya anak perantauan
memang lebih mudah untuk mengontrol emosi walaupun kadang-kadang yang mereka
lakukan untuk menunjukkannya adalah dengan cara “mutung” (dalam bahasa jawa
artinya diam-diam marah). Selain itu generasi keduanya juga memiliki sifat
berani tampil atau punya sifat PD yang tinggi tapi bukan berarti tak tau malu
lho ya sehingga dalam segala hal suka berada didepan.
4. Perbedaan
pola pikir
Kenapa
gue bisa bilang tentang perbedaan pola pikir karena terkadang apa yang mereka
lakukan itu benar-benar diluar apa yang gue pikirkan. Terkadang juga apa yang
mereka anggap ah itu nggak papa kok, disana itu merupakan hal yang biasa. Tapi
menurut gue disini itu merupakan hal yang luar biasa. Yahh, kembali lagi entah
karena gue memang sudah terkontaminasi dengan lingkungan halak ion atau
bagaimana tapi memang itu yang terjadi. Sipata adong dongan halak ion na
mandokkon, ah molo halak batak memang songoni do wataknya dang boi i alo, molo
A di dokkon bai i lakuhon. Nyesek banget molo adong dongan na mandokkon songoni
alana au pe merasahon do songon dia. Bapak pernah bilang kalo orang batak itu
kayak durian, diluar memang berduri tapi setelah dibuka behh buahnya mulus
kayak hatinya.. wkwk alai molo halak ion songon kedondong i bereng bagak i luar
alai berserat molo di allang. Kembali lagi ini bukan postingan SARA kalo kalian
nanggapinya dengan positif.
5. Tingkat
kekasaran
Kekerasan
yang gue ungkap disini bukan tentang fisik jadi bagi kalian para pembaca jangan
salah paham yaa.. Mungkin karena suara yang keras dan ceplas-ceplos “halak ion”
sering mengatakan kalo orang batak itu menakutkan karena terkadang bila orang
batak berbicara terdengar seperti sentakan. Satu hal yang mengejutkan gue
pertama kali di kala gue ngampus yaitu para ito-ito gue secara spontan memang ngomong “buj*ng, ba*i,
bodat, he*ng, buj*** in*m, baba ni amam”. Dan waktu itu gue (sebagai anak
perantau) bener-bener heran karena orangtua gue pun bahkan melarang kata-kata
seperti itu untuk diucapkan. Tapi kata mereka, “ah itu gpp to, toh mereka gak
tau apa artinya juga, jadi slow aja, kecuali kalo ngomong gitu ke orang batak,
bah langsung ampun.. wkwk”
Menurut
gue orang-orang batak memang jebolan kota Medan yang notabene biasa berkata
kasar dalam percakapan dan katanya itu merupakan hal yang biasa.
Tapi ada satu hal
yang bener-bener jleb ketika para ito dan eda nanyain gue tentang tarombo
(silsilah garis keturunan secara patrilineal dalam suku batak). Mereka bilang
meskipun lahir ditanah rantau setidaknya mengertilah tentang tarombo keluarga
sendiri. Karena jujur saja hampir
semua anak-anak muda perantau seumuran kami kebanyakan tidak terlalu paham akan
Tarombo Batak. Dan dari situ gue merasa sangat ingin tahu apa
itu tarombo dan ada rasa rindu khusus yang tidak bisa dijelaskan dengan
kata-kata.. *eakkkk, haha. Jadilah gue kepo-kepo ke Bapak dan Mamak yang
dirumah dan pasti mereka mikir “bah, kenapa tiba-tiba boru hasian tanya itu,?”
hehe.. Karena sudah menjadi kewajiban bagi masyarakat Batak untuk mengetahui
silsilah dan letak hubungan kekerabatannya untuk menjalankan konsep Dalihan Na Tolu yaitu Somba
Marhula-hula, Manat Mardongan Tubu, dan Elek Marboru.
Gue menikmati ketika
saat berada diantara kawan-kawan sebangsa setanah air dan sesuku ini. Mengobrol
tentang huta (kampung), berbicara tentang tarombo contohnya wah berarti kau
panggil aku tulang ya, atau berarti kau namboruku dong atau marpariban kita ya,
terus berbicara siallanggon (makanan) layaknya pinahan, panangga, saksang, nani
arsik dan semuanya yang berbau batak-kers.. Jadi buat kamu-kamu yang memang anak rantau
cobalah lihat dan belajarlah tentang apa yang seharusnya kamu tahu. Karena gak
lucu kan dimasa depan marga yang kita punyai itu cuma jadi cap kalo seseorang
itu adalah orang batak tanpa tau bagaimana bahasanya, tarombonya, makanannya dan
lain-lain.